Ibu, mampukah aku meneladanimu…?

Sudah hampir dua belas tahun aku menjadi ibu. Dulu aku tak membayangkan rasanya menjadi ibu. Seiring waktu, sejak anakku lahir, aku mengalami sendiri tantangan menjadi seorang ibu. Kadang aku tak sabar, hati kesal dan fisik lelah, apalagi sebagai ibu yang bekerja. Sering terlintas pertanyaan pada diri sendiri: apa yang ibuku lakukan saat mengalami masalah dan tantangan hidup?

Aku tinggal terpisah dengan ibuku saat aku mulai bangku kuliah dan kos bersama teman-teman. Seminggu sekali aku pulang minta uang saku mingguan. Aku tahu saat itu berat bagi orang tuaku membiayai anak-anaknya sekolah apalagi kuliah. Tetapi tak kulihat penyesalan atau kekesalan pada dirinya. Bagi orang tuaku yang hidup di lingkungan dengan kebanyakan anak putus sekolah, pendidikan adalah bekal yang dapat mereka berikan meskipun ibu tak pernah menemani kami belajar dan mengerjakan PR. Kami dikirim ke sekolah terbaik di kampung dan berharap kami bisa memperbaiki nasib ketika melepas kami bekerja atau menikah dan tinggal terpisah darinya. Bagaimanapun, ibuku adalah sekolah pertamaku.

DSCF3415

Ibuku adalah ibu jaman old. Ibuku seorang ibu rumah tangga, kadang-kadang bekerja di sawah sesuai musimnya. Ibuku tak pernah mengantar apalagi menungguiku sekolah. Ibu ke sekolah hanya jika bapak tak bisa hadir mengambil rapor kami. Bahkan aku dibiarkan saja mendaftar SMP di pusat kabupaten, sekitar 7 kilometer dari rumah dengan kendaraan umum. Ah, tega sekali ibuku. Maklum, ibuku berpendidikan rendah: sekolah kejar paket dengan ijazah kesetaraan. Tetapi ibuku sangat percaya diri dan tegas, hasil dari belajar di universitas alam raya. Setidaknya aku melihat ibuku tak kehabisan akal saat mengalami keterbatasan alat atau bahan. Ibu tak hanya pergi ke sawah, memasak, dan mengurus anak-anak, tetapi ibuku aktif ikut kegiatan sosial dan kemasyarakatan: arisan PKK, belajar gamelan di balai desa, kondangan, melayat, rewang (membantu) tetangga yang punya hajat (tentu tak memilih agama apa yang dibantu), kerja bakti, peringatan 17 Agustus dan karnaval, upacara rasulan (bersih desa), pengajian di masjid dan kadang-kadang ngrumpi dengan tetangga. Ibuku cukup rajin menonton berita televisi. Lepas sholat isya adalah me time nya: nonton berita nasional lanjut sinetron. Dulu masih ada ketoprak tontonan favoritnya atau acara campur sari. Program berbahasa Jawa paling beliau sukai karena bahasa Indonesia beliau terbatas. Ibuku lumayan eksis di jamannya.

Ibuku bukan ibu jaman now. Pekerjaannya tak ada yang dibantu alat-alat rumahtangga yang canggih yang tinggal klik. Ibuku tak tahu jenis kosmetik, apapun yang diberikan padanya dia pakai saja. Ibuku tak tahu fashion, pakai kerudung saja kadang miring atau gak matching sama bajunya. Ibuku tak bisa menyetir mobil, tak bisa video call apalagi upload vlog. Ibuku tak punya akun media sosial sehingga tak bisa share dan forward pesan-pesan nyinyir dan kadang hoax di medsos.  Ibu bisa mengangkat telepon dan memencet nomor telepon anaknya saja sudah bagus. Apalagi sejak ibuku tinggal di kampung sendirian sepeninggal bapak tahun 2012 dan ibuku mulai sakit-sakitan setahun lalu, dengan teknologi di era canggih ini, setidaknya komunikasi dengan ibu menjadi mudah dan murah. Yang mahal adalah waktu …

Ya…kesibukan sering manjadi alasanku lupa menelepon atau mengunjunginya yang kesepian. Padahal, itu yang selalu beliau tunggu-tunggu. Aku sering berpikir ibuku ingin dikirim banyak uang, ingin dibelikan barang tertentu, atau diajak jalan-jalan. Kakak-kakakku tentu juga ingin ibu tinggal saja bersama kami agar ibu senang. Tetapi bukan itu. Bagi ibu, kebahagiaannya adalah tinggal di rumah tua di kampung tempat kami semua dilahirkan. Ibu tentu juga berharap ada salah satu anaknya yang menemani hari tuanya. Tetapi kami tak mampu memenuhi harapannya. Ibu selalu mengkhawatirkan kami. Aku memang terlalu egois, sering memaksa ibu menuruti kehendak anak-anaknya. Justru ibu yang  selalu khawatir jika anak-anaknya masih kekurangan, anak cucunya tidak baik-baik saja, atau bahkan ibu takut merepotkan anak cucunya. Begitu besarnya cinta kasih ibu kepada anak-anaknya hingga kami telah menjadi ibu pun masih saja dikhawatirkannya. Mungkinkah ibuku khawatir kami tak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kami?

Ibu, masih ingat betapa tanganmu dengan cekatan mengerjakan banyak hal di rumah, merawat banyak anak hingga kami menjadi orang tua sekarang. Ibu tak pernah mengeluh, ibu tak pernah berkata kasar, ibu tak pernah menuntut apa-apa, ibu selalu mengalah pada bapak meski kadang ibu tak sependapat, ibu selalu menutup aib keluarga, ibu selalu mengutamakan orang lain yang membutuhkan, ibu tak sekalipun mengeluh sakit meski aku tahu ibu sering tak enak badan.

Ibuku yang tak berpendidikan dan tinggal di era tradisional mampu melewati masa demi masa dengan tangguhnya. Lalu bagaimana dengan kami yang berpendidikan dan hidup di era serba canggih ini? Ibu, mampukah aku meneladanimu?

Ibu, tak akan mampu kami membalas kasih sayang ibu dari ibu mengandung hingga saat ini. Meskipun ibu tak pernah mengatakan ibu mencintaiku, dari sikap ibu aku tahu betapa besar kasih sayangmu. Hanya doa-doa yang kupanjatkan di setiap sujudku agar ibu sehat dan bahagia di kala rambut ibu telah memutih dan kulit keriput, semoga  ibu selalu dalam penjagaan dan hidayahNya dan kelak kita tetap bersama di surgaNya.

Ibu, maafkan aku, aku yang tak henti merepotkanmu, aku juga membuatmu khawatir bahkan menambah-nambah dosa ibu dengan kekhilafanku. Ibu maafkan aku yang tak selalu siap di sampingmu seperti saat ibu selalu ada untukku. Ibu, maafkan aku.

Ibu, aku ingin sepertimu menjadi ibu yang sabar dan ikhlas menjalankan peran utama sebagai ibu dengan segala ujian, menjadi ibu yang bisa dijadikan teladan bagi anak-anak kami dan lingkungan kami, menjadi ibu yang membanggakan, menjadi ibu yang kuat dalam kondisi apapun, menjadi ibu yang tak henti belajar. Ibu, masih saja aku berharap ridhamu agar Allah swt berikan ridha terhadapku dan keluarga.

Ibu, aku tahu ibu tak paham apa itu Hari Ibu 22 Desember. Tetapi hari ini, aku ingin mengenang besarnya perjuangan ibu yang penuh pengorbanan bahkan penderitaan mulai mengandungku, melahirkan, merawat dan mendidikku. Ibu, aku mencintaimu.

Leave a comment